Dulkamdi sudah hampir divonis gila oleh orang-orang sekampung. Kemanapun ia berjalan, selalu menyanyikan lagu-lagu. Kalau bukan lagu-lagu cinta seperti orang kasmaran, maka ia lagukan kisah penderitaan yang teramat dalam. Lalu airmatanya meleleh membelah pipinya yang kurus mongering. Ia sudh seperti majnun.
“Bagaimana nasib sahabat kita itu Kang?” Tanya Pardi.
“Nanti juga waras.”
“Jangan lama-llama Kang gilanya…”
“Memang saya ini Gusti Allah apa?”
“lho ya, saya nggak tega lihat Dulkamdi seperti itu…”
“Saya juga! Tapi Insya Allah nanti sore juga sudah kelar gilanya…”
“Kenapa nggak nanti siang Kang?”
“Biarlah dia lagi menikmati asmaranya dengan Allah.”
Dari jarak yang jauh, Dulkamdi memang tampak seperti kegirangan, lalu berjoged, bahkan tertawa terbahak-bahak. Ia bersya’ir dengan lagu yang begitu pahit :
Dunia sudah tua, lebih tua dari nenek tua
Kenapa kau buru dunia yang renta
Kenapa….?
Lihatlah yang selalu muda
Para bidadari di surga
Dengan senyum bunga-bunga jamaliyahNya
Tapi kenapa kalian berpaling dari jaga?
Lalu berkhayal tentang syrga?
Lalu bermimpi tentang janji
Wahai para hamba pemalas?
Oh… dunia sudah tua
Sejak dulu yang begitu
Sejak kapan yang begini
Sejak kita bermimpi
Ya…. Begitu
Ha….ha….ha….
“Minum kopi dulu Dul, biar seger.” Ucap Pardi.
“ya…ya… saya akan nikmati kopi. Tapi bukan rasa kopi ini yang nikmat bagiku. Tapi dibalik kopi ini. Dibalik kopi ini ada nama-nama Allah, ada sifat-sifat Allah, ada perbuatan-perbuatan Allah… Nikmattt tenaaan. Allah… Allah… Allah… kopi kesduhan Allah…. Hmmmmm…. Kalian semua telah musrik dengan meminum kopi murni ini… Hmmmmm….”
Gegerlah seisi kedai itu. Dulkamdi benar-benar gila kepada Allah. Dulkamdi telah majdzub.
“Ini kopi Dul, bukan Allah!”
“Saya tahu. Tapi kopi ini menjadi hijab antara kamu dengan Allah. Kopi ini menjadi lebih besar dimata hatimu dibanding kebesaran Alah. Hmmmmm…..”
“Sadar Dul, sadar!”
“Justru kamu semua ini yang nggak sadar. Setiap hari minum kopi tapi tidak pernah mendengarkan tasbihnya kopi. Tega benar, kalian semua ini. Kopi mendo’akan anda, tapi kenapa kopi anda bikin sebagai sungai dalam kencing anda…. Ha…. Ha,,,,, ha…. Kalian sudah gila semua.”
Dulkamdi lalu menangis tersedu-sedu. Tiba-tiba Kang Saleh mendekatinya. Memeluknya erat-erat.
“Dul, mari kita pakai baju Islam dengan syari’atnya. Mari kita alirkan darah daging keimanan denngan dzikirnya. Mari kita getarkan Allah dalam ruhnya.”
“Lalu gimana Kang, aku ini?”
“Pejamkan matamu Dul/ allah mencintaimu dengan tirai nama-namaNya. Nah, pakailah jubah Ilahi itu, dengan penuh riasan warni dzikrillah.”
Pardi memejamkan matanya. Lalu ia buka kembali. Sesaat ia sadarkan diri. Lalu ia raih air putih di kendi kedai itu, ia minum habis, laksana pengembara di kedahagaan sahara…..
KH. M. Luqman Hakim.