Oleh:
Ustadz Armen Halim Naro
Dalam menentukan hari raya. Pemerintah tidak lepas dari dua hal. Yaitu, keputusannya sesuai dengan syari’at, dan keputusannya yang tidak sesuai dengan tuntunan syari’at, penjelasannya sebagai berikut.
Pertama
Jika keputusan dalam menentukan hari raya telah sesuai dengan syari’at, yaitu menggunakan ru’yah hilal, atau menyempurnakan bilangan bulan Ramadhan tatkala hilal tertutup awan, maka dalam hal ini tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk keluar dan membangkang terhadap orang yang telah Allah jadikan sebagai waliyyul amril mukminin
Permasalahan : Jika seseorang melihat hilal sendirian, apakah dia boleh berbuka dan berhari raya sendiri?
Jawaban.
Dalam hal ini, para ulama mempunyai dua pendapat yang masyhur.
[a]. Dia tidak dibenarkan berbuka. Tetapi, hendaklah dia berbuka dan berpuasa dengan kaum muslimin. Demikian ini adalah madzhab jumhur ulama (Hanafiyah [1], Malikiyah [2] dan Hanabilah [3]), dan juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Beliau berkata : “Dan demikian ini adalah pendapat yang terkuat, sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih”.
Dalam mensyarah hadits diatas Tirmidzi berkata : “Sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini ; mereka mengatakan, berpuasa dan berbuka bersama jama’ah”.[4]
[b]. Dan dibenarkan untuk berbuka secara sembunyi. Demikian ini madzhab Syafi’iyyah [5], sebagian Hanafiyah dan Hanabilah.
Dr Ahmad Muwafi berkata : Sebenarnya pendapat Syafi’iyyah dalam bab ini cukup kuat ; karena berpuasa dan berbuka berkaitan dengan ru’yah, dan dia telah yakin melihat hilal Syawal. Dan ini cukup baginya untuk tidak berpuasa. Bagaimana dia dituntut untuk berpuasa, padahal dia yakin bahwa ia telah keluar dari puasa wajib? Ini tidak bertentangan dengan hadits “ Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih”. Karena tujuan akhir dari hadits tersebut, ialah menganjurkan kepada kaum muslimin yang telah melihat hilal sendirian dan tidak terlihat oleh yang lainnya. Kalau tidak, dia sembunyikan puasanya dengan selalu menampakkan apa yang dilakukan oleh jama’ah, atau dia dianjurkan berpuasa, untuk mensepakati jama’ah kaum muslimin, dan berbuka ketika kalian semua berbuka. Karena tidak mungkin dia berbuka sebelum yang lain dari berhari raya sendirian, bukan berarti wajib bagianya berpuasa. Wallahu Ta’ala a’lam. [6]
Kedua
Jika pemerintah membuat keputusan yang salah dalam menentukan hari raya, misalnya dengan menggunakan hisab, atau mengikuti penanggalan di kalender, atau dengan semisalnya yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at, maka –wallahu ‘alam- tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk berhari raya sendiri-sendiri. Mereka tetap diharuskan untuk berhari raya bersama kebanyakan kaum muslimin, dalam hal ini bersama pemerintah ; demi menjaga persatuan dan tidak jatuh ke dalam jurang perpecahan. Sesuai dengan sabda Rasulullah : “Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih”.
Ash-Shan’ani, ketika mensyarah hadits ini berkata : “Dalam hadits ini, dalil yang menetapkan hari raya sesuai dengan (kebanyakan) manusia karena orang yang sendirian mengetahui hari raya dengan ru’yah, wajib baginya untuk mengikuti orang lain dan diharuskan shalat, berbuka dan kurban bersama dengan mereka. [7]
Dari Abu Umair bin Anas dan paman-pamannya dari kalangan kaum Anshar Radhiyallahu ‘anhum berkata : “Awan menutupi kami pada hilal Syawal. Maka pagi tersebut kami berpuasa. (Kemudian) datanglah kafilah pada sore harinya. Mereka bersaksi kepada Rasulullah, bahwa kemarin mereka melihat hilal. Maka Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk berbuka saat itu juga, dan keluar besok paginya untuk shalat Ied”. [8]
Asy-Syaukani menyebutkan, diperbolehkan shalat Ied pada hari kedua. Tidak ada perbedaan antara adanya keraguan dan yang lainnya karena udzur, baik karena ragu atau alasan lainnya, dengan mengqiaskan dengannya” [9]
Lebih tegas lagi Syaikhul Islam menyebutkan : Jika dikatakan “Bisa saja pemerintah diserahi untuk menetapkan hilal lalai, karena menolak persaksian orang-orang yang terpercaya. Bisa saja karena kelalaian dalam meneliti amanah mereka. Bisa saja persaksian mereka ditolak, karena adanya permusuhan antara pemerintah dengan mereka. Atau sebab-sebab lain yang tidak disyari’atkan. Atau karena pemerintah bersandarkan dengan perkataan ahli nujum yang menyatakan melihat hilal”.
Maka dikatakan (kepada mereka) : Hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah (dengan cara apapun, pen) tidak akan berbeda dengan orang yang mengikuti pemerintah dengan melihat ru’yah hilal ; baik sebagai mujtahid yang benar atau (mujtahid) yang salah atau lalai. Sebagaimana telah disebutkan dalam Shahih, bahwa Nabi bersabda tentang para penguasa : “Shalatlah bersama mereka. Jika mereka benar, maka (pahalanya) untuk kalian dan mereka. Jika mereka salah, maka pahalanya untuk kalian (dan) dosanya untuk mereka”.
Jadi, kesalahan dan kelalaian pemerintah, tidak ditanggung kaum muslimin yang tidak melakukan kelalaian atau kesalahan. [10]
Wallahu a’lam
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425H/2004M, Dinukil dari Artikel Fatwa-Fatwa Seputar Berhari Raya Dengan Pemeritah, Penyusun Armen Halim Naro. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo –Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo - Solo]
_______
Footnote
[1]. Lihat Fathul Qadir bersama Hidayah (2/325)
[2]. Lihat Al-Qawanin, Ibnu Juzaiy (102)
[3]. Lihat Al-Inshaf, Al-Marsawi (3/278)
[4]. Lihat Sunan Tirmidzi bersama Tuhfah (3/383)
[5]. Lihat Majmu Syarah Muhazzah, Nawawi 96/286)
[6]. Taisir Al-Fiqh Al-Jami Lil Ikhtiaratil Fiqhiyyah Li Syaikhul Islam Ibni Taimiyah (1/449-450)
[7]. Subulus Salam (2/134)
[8]. Hadits dengan lafadz ini dikeluarkan oleh Abu Dawud, Kitab Shalat, Bab (Idza Lam Yakhrujil Imam Lil id..) No. 1157
[9]. Lihat Nalilul Authar (2/295)
[10]. Majmu Fatawa (25/206)