Tuduhan yang Keliru terhadap Tasawuf dalam memahami Islam yang sebenarnya

07 January 2012

 Segala Puji Bagi Allah yang membuka pintu keutamaan dan pemahaman kepada Hamba yang di khususkan dengan Taufiknya sejak jaman ajali, mengenakan pakaian Ridha kepada Hamba yang di Cintainya dan menjadikan sebaik-baik golongan, memberi dan memuliakan, memberi pemahaman dan pengetahuan, 

Maha Suci Dia Raja di Raja yang karuniaNya meliputi hambanya yang Taat dan yang bermaksiat, yang dekat dan yang jauh, membuka hijab dan menipu dari hati orang-orang yang mendapat perlindungan. serta Sholawat serta Salam atas Pemimpin Adnan, yang termulia di antara jin dan manusia, juga keluargan Sahabat dan mengikuti mereka dengan Kebaikan.


Asalamu aleikum wa rahmatullahi wa barakatuh 
Bismillah!

Sebenarnya Ilmu fiqih,ahlak,tajwid,safinah,tauhid dll tidak pernah ada nama tersebut ada di jaman Rosululloh kemudian setelah Rosul wafat barulah para sahabat membukukan Al-qur'an sehingga menjadi qur'an yang bisa di baca/di amalkan setiap hari, keluarlah penamaan baru seperti ilmu fiqh,tauhid,ahlak, safinah di beri nama untuk mengklasifikasikan untuk mempermudah orang islam belajar dlm kehidupan sehari-hari, dan bermuncullah beberapa pemerhati ilmu dlm bidangnya masing-masing seperti ahli hadis, tafsir, prilaku amalan lahir dan bathin (tasawuf) dan seiring dengan perkembangan jaman maka timbul juga beberapa Golongan baik sunni,syiah, as-sunatul wal jamaah dll.

Sajatinya Tasawuf bukan ajaran budha, kejawen, juga mengarah kepada kesesatan dan ini perbuatan nabi dan para Ahlak salaful shaleh untuk meningkatkan iman dlm perbuatan hati agar lebih mantaf dalam menjalankan ibadah ke seheharian untuk mendekatkan kepada Allah SWT.

Allah SWT berfirman dalam surat Almaidah, 35 :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”

Perikehidupan (sirah) nabi Muhammad SAW juga merupakan benih-benih tasawuf yaitu pribadi nabi SAW yang sederhana, zuhud, dan tidak pernah terpesona dengan kemewahan dunia. Dalam salah satu Doanya ia memohon: ”Wahai Allah, Hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin” (HR.at-Tirmizi, Ibnu Majah dan al-Hakim).

“Pada suatu waktu Nabi SAW datang kerumah istrinya, Aisyah binti Abu Bakar as-Siddiq. Ternyata dirumahnya tidak ada makanan. Keadaan ini diterimanya dengan sabar, lalu ia menahan lapar dengan berpuasa” (HR.Abu Dawud, at-Tirmizi dan an-Nasa-i) .

Ibadah Nabi Muhammad SAW. Ibadah nabi SAW juga sebagai cikal bakal tasawuf. Nabi SAW adalah orang yang paling tekun beribadah. Dalam satu riwayat dari Aisyah RA disebutkan bahwa pada suatu malam nabi SAW mengerjakan shalat malam, didalam salat lututnya bergetar karena panjang dan banyak rakaat salatnya. Tatkala rukuk dan sujud terdengar suara tangisnya namun beliau tetap melaksanakan salat sampai azan Bilal bin Rabah terdengar diwaktu subuh. Melihat nabi SAW demikian tekun melakukan salat, Aisyah bertanya: ”Wahai Junjungan, bukankah dosamu yang terdahulu dan yang akan datang diampuni Allah, mengapa engkau masih terlalu banyak melakukan salat?” nabi SAW menjawab:” Aku ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur” (HR.Bukhari dan Muslim).

Selain banyak salat nabi SAW banyak berzikir. Beliau berkata: “Sesungguhnya saya meminta ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya setiap hari tujuh puluh kali” (HR.at-Tabrani).

Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad (r) : “Ya walladee ‘alayka bi-jallassati ha’ula’i as-Sufiyya. Fa innahum zaadu ‘alayna bikathuratil ‘ilmi wal murqaba wal khashiyyata waz-zuhda wa ‘uluwal himmat (Anakku jika kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka tetap mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka orang-orang zuhud dan mereka memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi,” –Tanwir al-Qulub, p. 405, Shaikh Amin al-Kurdi) (164-241 H./780-855 CE)

Akhlak Nabi Muhammad SAW. Akhlak nabi SAW merupakan acuan akhlak yang tidak ada bandingannya. Akhlak nabi SAW bukan hanya dipuji oleh manusia, tetapi juga oleh Allah SWT. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah SWT yang artinya: “Dan sesungguhnya kami (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”.(QS.Al Qalam:4) ketika Aisyah ditanya tentang Akhlak Nabi SAW, Beliau menjawab: Akhlaknya adalah Al-Qur’an”(HR.Ahmad dan Muslim). Tingkah laku nabi tercermin dalam kandungan Al-Qur’an sepenuhnya.

Dalam diri nabi SAW terkumpul sifat-sifat utama, yaitu rendah hati, lemah lembut, jujur, tidak suka mencari-cari cacat orang lain, sabar, tidak angkuh, santun dan tidak mabuk pujian. Nabi SAW selalu berusaha melupakan hal-hal yang tidak berkenan di hatinya dan tidak pernah berputus asa dalam berusaha.

Oleh karena itu, Nabi SAW merupakan tipe ideal bagi seluruh kaum muslimin, termasuk pula para sufi. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 21 yang artinya:”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.”.

Kehidupan Empat Sahabat Nabi Muhammad SAW.
Sumber lain yang menjadi sumber acuan oleh para sufi adalah kehidupan para sahabat yang berkaitan dengan keteguhan iman, ketakwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh karena setiap orang yang meneliti kehidupan rohani dalam islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi diabad-abad sesudahnya.

Kehidupan para sahabat dijadikan acuan oleh para sufi karena para sahabat sebagai murid langsung Rasulullah SAW dalam segala perbuatan dan ucapan mereka senantiasa mengikuti kehidupan Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu perilaku kehidupan mereka dapat dikatakan sama dengan perilaku kehidupan Nabi SAW, kecuali hal-hal tertentu yang khusus bagi Nabi SAW. Setidaknya kehidupan para sahabat adalah kehidupan yang paling mirip dengan kehidupan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW karena mereka menyaksikan langsung apa yang diperbuat dan dituturkan oleh Nabi SAW. Oleh karena itu Al-Qur’an memuji mereka: ” Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk islam) diantara orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah sediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya, mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”. (QS.At Taubah:100).

Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi menulis didalam bukunya, Kitab al-Luma`, tentang ucapan Abi Utbah al-Hilwani (salah seorang tabiin) tentang kehidupan para sahabat:” Maukah saya beritahukan kepadamu tentang kehidupan para sahabat Rasulullah SAW? Pertama, bertemu kepada Allah lebih mereka sukai dari pada kehidupan duniawi. Kedua, mereka tidak takut terhadap musuh, baik musuh itu sedikit maupun banyak. Ketiga, mereka tidak jatuh miskin dalam hal yang duniawi, dan mereka demikian percaya pada rezeki Allah SWT.”

Adapun kehidupan keempat sahabat Nabi SAW yang dijadikan panutan para sufi secara rinci adalah sbb:
1. Abu Bakar as-Siddiq. Pada mulanya ia adalah salah seorang Kuraisy yang kaya. Setelah masuk islam, ia menjadi orang yang sangat sederhana. Ketika menghadapi perang Tabuk, Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, Siapa yang bersedia memberikan harta bendanya dijalan Allah SWT. Abu Bakar lah yang pertama menjawab:”Saya ya Rasulullah.” Akhirnya Abu Bakar memberikan seluruh harta bendanya untuk jalan Allah SWT. Melihat demikian, Nabi SAW bertanya kepada: ”Apalagi yang tinggal untukmu wahai Abu Bakar?” ia menjawab:”Cukup bagiku Allah dan Rasul-Nya.”

Diriwayatkan bahwa selama enam hari dalam seminggu Abu Bakar selalu dalam keadaan lapar. Pada suatu hari Rasulullah SAW pergi kemesjid. Disana Nabi SAW bertemu Abu Bakar dan Umar bin Khattab, kemudian ia bertanya:”Kenapa anda berdua sudah ada di mesjid?” Kedua sahabat itu menjawab:”Karena menghibur lapar.”

Diceritakan pula bahwa Abu Bakar hanya memiliki sehelai pakaian. Ia berkata:”Jika seorang hamba begitu dipesonakan oleh hiasan dunia, Allah membencinya sampai ia meninggalkan perhiasan itu.” Oleh karena itu Abu Bakar memilih takwa sebagai ”pakaiannya.” Ia menghiasi dirinya dengan sifat-sifat rendah hati, santun, sabar, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan ibadah dan zikir.

2. Umar bin Khattab yang terkenal dengan keheningan jiwa dan kebersihan kalbunya, sehingga Rasulullah SAW berkata:” Allah telah menjadikan kebenaran pada lidah dan hati Umar.” Ia terkenal dengan kezuhudan dan kesederhanaannya. Diriwayatkan, pada suatu ketika setelah ia menjabat sebagai khalifah, ia berpidato dengan memakai baju bertambal dua belas sobekan.

Diceritakan, Abdullah bin Umar, putra Umar bin Khatab, ketika masih kecil bermain dengan anak-anak yang lain. Anak-anak itu semua mengejek Abdullah karena pakaian yang dipakainya penuh dengan tambalan. Hal ini disampaikannya kepada ayahnya yang ketika itu menjabat sebagai khalifah. Umar merasa sedih karena pada saat itu tidak mempunyai uang untuk membeli pakaian anaknya. Oleh karena itu ia membuat surat kepada pegawai Baitulmal (Pembendaharaan Negara) diminta dipinjami uang dan pada bulan depan akan dibayar dengan jalan memotong gajinya.

Pegawai Baitulmal menjawab surat itu dengan mengajukan suatu pertanyaan, apakah Umar yakin umurnya akan sampai bulan depan. Maka dengan perasaan terharu dengan diiringi derai air mata , Umar menulis lagi sepucuk surat kepada pegawai Baitul Mal bahwa ia tidak lagi meminjam uang karena tidak yakin umurnya sampai bulan yang akan datang.

Disebutkan dalam buku-buku tasawuf dan biografinya, Umar menghabiskan malamnya beribadah. Hal demikian dilakukan untuk mengibangi waktu siangnya yang banyak disita untuk urusan kepentingan umat. Ia merasa bahwa pada waktu malamlah ia mempunyai kesempatan yang luas untuk menghadapkan hati dan wajahnya kepada Allah SWT.

3. Usman bin Affan yang menjadi teladan para sufi dalam banyak hal. Usman adalah seorang yang zuhud, tawaduk (merendahkan diri dihadapan Allah SWT), banyak mengingat Allah SWT, banyak membaca ayat-ayat Allah SWT, dan memiliki akhlak yang terpuji. Diriwayatkan ketika menghadapi Perang Tabuk, sementara kaum muslimin sedang menghadapi paceklik, Usman memberikan bantuan yang besar berupa kendaraan dan perbekalan tentara.

Diriwayatkan pula, Usman telah membeli sebuah telaga milik seorang Yahudi untuk kaum muslimin. Hal ini dilakukan karena air telaga tersebut tidak boleh diambil oleh kaum muslimin.

Dimasa pemerintahan Abu Bakar terjadi kemarau panjang. Banyak rakyat yang mengadu kepada khalifah dengan menerangkan kesulitan hidup mereka. Seandainya rakyat tidak segera dibantu, kelaparan akan banyak merenggut nyawa. Pada saat paceklik ini Usman menyumbangkan bahan makanan sebanyak seribu ekor unta.

Tentang ibadahnya, diriwayatkan bahwa usman terbunuh ketika sedang membaca Al-Qur’an. Tebasan pedang para pemberontak mengenainya ketika sedang membaca surah Al-Baqarah ayat 137 yang artinya:…”Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” ketika itu ia tidak sedikitpun beranjak dari tempatnya, bahkan tidak mengijinkan orang mendekatinya. Ketika ia rebah berlumur darah, mushaf (kumpulan lembaran) Al-Qur’an itu masih tetap berada ditangannya.

4. Ali bin Abi Talib yang tidak kurang pula keteladanannya dalam dunia kerohanian. Ia mendapat tempat khusus di kalangan para sufi. Bagi mereka Ali merupakan guru kerohanian yang utama. Ali mendapat warisan khusus tentang ini dari Nabi SAW. Abu Ali ar-Ruzbari , seorang tokoh sufi, mengatakan bahwa Ali dianugerahi Ilmu Laduni. Ilmu itu, sebelumnya, secara khusus diberikan Allah SWT kepada Nabi Khaidir AS, seperti firmannya yang artinya:…”dan telah Kami ajarkan padanya ilmu dari sisi Kami.” (QS.Al Kahfi:65).

Kezuhudan dan kerendahan hati Ali terlihat pada kehidupannya yang sederhana. Ia tidak malu memakai pakaian yang bertambal, bahkan ia sendiri yang menambal pakiannya yang robek.

Suatu waktu ia tengah menjinjing daging di Pasar, lalu orang menyapanya:”Apakah tuan tidak malu memapa daging itu ya Amirulmukminin (Khalifah)?” Kemudian dijawabnya:”Yang saya bawa ini adalah barang halal, kenapa saya harus malu?”.

Abu Nasr As-Sarraj at-Tusi berkomentar tentang Ali. Katanya:”Di antara para sahabat Rasulullah SAW Amirulmukminin Ali bin Abi Talib memiliki keistimewahan tersendiri dengan pengertian-pengertiannya yang agung, isyarat-isyaratnya yang halus, kata-katanya yang unik, uraian dan ungkapannya tentang tauhid, makrifat, iman, ilmu, hal-hal yang luhur, dan sebagainya yang menjadi pegangan serta teladan para sufi.

Kehidupan Para Ahl as-Suffah. Selain keempat khalifah di atas, sebagai rujukan para sufi dikenal pula para Ahl as-Suffah. Mereka ini tinggal di Mesjid Nabawi di Madinah dalam keadaan serba miskin, teguh dalam memegang akidah, dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Diantara Ahl as-Suffah itu ialah Abu Hurairah, Abu Zar al-Giffari, Salman al-Farisi, Mu’az bin Jabal, Imran bin Husin, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan Huzaifah bin Yaman. Abu Nu’aim al-Isfahani, penulis tasawuf (w. 430/1038) menggambarkan sifat Ahl as-Suffah di dalam bukunya Hilyat al-Aulia`(Permata para wali) yang artinya: Mereka adalah kelompok yang terjaga dari kecendrungan duniawi, terpelihara dari kelalaian terhadap kewajiban dan menjadi panutan kaum miskin yang menjauhi keduniaan. Mereka tidak memiliki keluarga dan harta benda. Bahkan pekerjaan dagang ataupun peristiwa yang berlangsung disekitar mereka tidak lah melalaikan mereka dari mengingat Allah SWT. Mereka tidak disedihkan oleh kemiskinan material dan mereka tidak digembirakan kecuali oleh suatu yang mereka tuju.

Diantara Ahl as-Suffah itu ada yang mempunyai keistimewahan sendiri. Hal ini memang diwariskan oleh Rasulullah SAW kepada mereka seperti Huzaifah bin Yaman yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW tentang ciri-ciri orang Munafik. Jika ia berbicara tentang orang munafik, para sahabat yang lain senantiasa ingin mendengarkannya dan ingin mendapatkan ilmu yang belum diperolehnya dari Nabi SAW. Umar bin Khattab pernah tercengang mendengar uraian Huzaifah tentang ciri-ciri orang munafik.

Adapun Abu Zar al-Giffarri adalah seorang Ahl as-Suffah termasyur yang bersifat sosial. Ia tampil sebagai prototipe (tokoh pertama) fakir sejati. Abu Zar tidak pernah memiliki apa-apa, tetapi ia sepenuhnya milik Allah SWT dan akan menikmati hartanya yang abadi. Apabila ia diberikan sesuatu berupa materi, maka materi tersebut dibagi-bagi kepada para fakir miskin.

Kehidupan Para Tabiin. Setelah periode sahabat berlalu muncul periode Tabiin (sekitar abad ke-1 H dan ke-2 H). Pada masa itu kondisi sosial-politik sudah mulai berubah dari masa sebelumnya. Konflik-konflik politik yang dimulai dari masa Usman bin Affan berkepanjangan sampai kemasa-masa sesudahnya. Konflik tersebut ternyata mempunyai dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok-kelompok Bani Umayyah, Syiah, Khawarij dan Murjiah.

Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, kehidupan politik berubah total. Dengan sistem pemerintahan monarki, khalifah-khalifah Bani Umayyah secara bebas berbuat kezaliman-kezaliman, terutama terhadap kelompok syiah, yakni kelompok politik yang paling gencar menentangnya. Puncak kekejaman mereka terlihat jelas pada saat terbunuhnya Husein bin Ali bin Abi Talib di Karbala. Kasus pembunuhan ini ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat islam pada masa itu. Kekejaman Bani Umayyah yang tak henti-hentinya itu membuat kelompok penduduk kufah merasa menyesal karena telah menghianati Husein dan memberikan dukungan kepada pihak yang melawan Husein. Mereka menyebut kelompoknya Tawabun (Kaum Tawabin).

Disamping gejolak politik yang berkepanjangan, perubahan kondisi sosialpun terjadi. Hal ini mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan kehidupan beragama masyarakat islam. Pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat, secara umum kaum muslimin hidup dalam keadaan sederhana. Ketika Bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan, hidup mewah mulai meracuni masyarakat, terutama terjadi dikalangan istana. Mu`awiyah bin Abu Sufyan sebagai Khalifah nampak semakin jauh dari tradisi kehidupan Nabi SAW serta para sahabat-sahabat utama dan semakin dekat dengan traidisi kehidupan raja-raja Romawi. Kemudian anaknya, Yazid (memerintah 61 H/680 M- 64 H/683 M), dikenal sebagai khalifah yang tidak memperdulikan ajaran-ajaran agama. Dalam sejarah, Yazid dikenal sebagai pemabuk. Dalam situasi yang demikian kaum muslimin yang saleh merasa berkewajiban menyeruhkan kepada masyarakat untuk hidup zuhud, sederhana, saleh dan tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Diantara para penyeru tersebut adalah Abu Zar al-Giffari. Dia melancarkan kritik tajam kepada Bani Umayyah yang sedang tenggelam dalam kemewahan dan menyeruhkan agar ditetapkan keadilan sosial dalam Islam.

Dari perubahan-perubahan kondisi sosial tersebut sebagian masyarakat mulai melihat kembali pada kesederhanaan kehidupan Nabi SAW dan para sahabatnya. Sejak itu kehidupan Zuhud menyebar luas dikalangan masyarakat. Para pelaku Zuhud disebut Zahid atau karena ketekunan beribadah maka disebut `abid.

Tokoh Tabiin kelas pertama yang muncul di Madinah ialah Sa’id bin Musayyab (15-94H). Ia banyak mendapat pendidikan dari Mertuanya, Abu Hurairah. Pada dirinya terkumpul kealiman dalam bidang hadist dan fikih disamping juga dalam bidang ibadah, kezuhudan dan akhlak mulia.

Selanjutnya muncul salim bin Abdullah bin Umar bin Khattab, seorang tabiin yang hidup zuhud. Diriwayatkan (berdasarkan ucapan tabiin) suatu kali Sulaiman bin Abdul Malik masuk ke Mesjidilharam. Didalam mesjid dilihatnya Salim dan ditegurnya:”Mintalah kepadaku segala kebutuhanmu”. Jawab Salim:” Demi Allah, dalam Baitullah ini aku tidak meminta kepada siapapun kecuali kepada Allah.”

Dikota Basrah muncul AL-HASAN AL-BASRI (Madinah,21H/642M – Basrah,110 H/728M) seorang ulama besar dalam beberapa bidang Ilmu, seperti: Hadis, Fikih dan Tafsir, juga seorang pendidik dan sufi. Nama lengkapnya Abu Sa’id al-Hasan bin Abi Hasan Yasar al-Basri. Ayahnya bernama Yasar al-Basri Maula Zaid bin Sabit al Ansari, sedangkan ibunya bernama Khairah Maulat Ummu Salamah. Keluarga al-Hasan al-Basri adalah keluarga yang berilmu dan menaruh perhatian terhadap ilmu terutama Al Qur’an dan Hadis. Ibunya sendiri sangat dekat dengan Ummu Salamah, salah seorang istri Rasulullah , tergolong orang berilmu. Ibunya adalah penghapal dan periwayat hadis, yang menerima dan meriwayatkan banyak hadis dari Ummu Salamah.

Pendidikan awal Al Hasan al-Basri diperoleh dari keluarganya sendiri terutama dari Ibunya. Ibunya memberikan pengaruh yang besar tehadap perkembangan dan pertumbuhan al Hasan al-Basri dan saudaranya Sa’id bin Abi Hasan Yasar al-Basri. Ia banyak mendengar riwayat hadis dari ibunya, para sahabat dan para tabiin dan pada usianya 14 Tahun ia sudah menghapal al Qur’an. Ia banyak belajar dan berada dalam asuhan ilmu dari Ali bin Abi Talib, terutama ilmu tentang kerohanian dan dari Huzaifah bin Yaman. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan bahwa al Hasan al Basri, selain sempat bertemu Ali bin Abi Talib, ia juga sempat bertemu Talhah bin Ubaidillah, dan Aisyah binti Abu Bakar. Ia menerima hadis riwayat beberapa sahabat dan para perawi hadis lainnya seperti: Ubay bin Ka’b (w.19H), Sa’id bin Ubadah, Umar bin Khattab, Ammar bin Yasir, Abu Hurairah, Usman bin Affan, Abdullah bin Umar, Hamid at-Tawil, Yazid bin Abi Maryam, dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan.

Menurut Ahmad Ismail al-Basit, seorang ulama Yordania, membagi masa kehidupan al Hasan atas tiga periode yaitu: (1) periode Tahun 21-42 H; (2) periode tahun 43-53H; dan (3) periode 53-110H.

Periode pertama merupakan periode kehidupannya di Madinah, ia banyak menimba ilmu bukan hanya dari ibunya tetapi dari sebagian sahabat.

Pada periode kedua, ia melibatkan diri dalam peperangan dan penaklukan wilayah-wilayah baru. Pada saat yang bersamaan ia banyak bertemu dengan para sahabat-sahabat Nabi SAW dan menimba ilmu dari mereka. Pada periode ini juga ia menjadi sekretaris Rabi` bin Ziyad al-Harisi (w.53), seorang amir Sijistan Khurasan (Persia).

Periode ke tiga ia habiskan waktunya di Basra untuk menyampaikan dan mengajarkan ilmunya.
Ia membuka madrasah al Hasan al-Basri, Ia menyampaikan pesan-pesan pendidikannya melalui 2 Cara:
1. Ia mengajak murid-muridnya menghidupkan kembali kondisi masa salaf, seperti yang terjadi pada masa para sahabat nabi Muhammad SAW, terutama masa umar bin Khattab, yang selalu berpegang teguh kepada kitabullah dan sunah Rasulullah SAW;
2. Ia menyerukan kepada murid-muridnya untuk bersikap Zuhud dalam menghadapi kemewahan dunia, zuhud dalam pengertiannya adalah tidak tamak terhadap kemewahan dunia dan tidak pula lari dari persoalan dunia, tetapi selalu merasa cukup dengan apa yang ada

Tentang tasawuf al Hasan al-Basri berkata:
”Barangsiapa yang memakai tasawuf karena tawaduk (kepatuhan) kepada Allah akan ditambah Allah cahaya dalam diri dan Hatinya, dan barang siapa yang memakai tasawuf karena kesombongan kepadanya akan dicampakkan kedalam neraka”.

Al Hasan al-Basri masyhur dengan kezuhudannya yang berlandaskan Khauf (Takut kepada kemurkaan Allah SWT) dan diiringi dengan rajā (senantiasa mengharapkan Rahmat Allah SWT). Saking takutnya kepada Allah SWT ia selalu membayangkan bahwa neraka itu seakan-akan diciptakan oleh Allah SWT semata-mata hanya untuk dirinya. Oleh sebab itu al Hasan al-Basri mengatakan: ”Jauhilah dunia ini karena ia sebenarnya serupa dengan ular, licin pada perasaan tangan, tetapi racunnya mematikan.”

Kedalaman pengetahuan al-Hasan al-Basri mengenai tasawuf cendrung untuk mengartikan beberapa istilah dalam agama islam menurut pendekatan tasawuf.

Islam, misalnya, diartikan penyerahan hati dan jiwa hanya kepada Allah SWT dan keselamatan seseorang muslim dari gangguan muslim lain.

Orang beriman, menurutnya adalah orang yang mengetahui bahwa apa yang dikatakan oleh Allah SWT, itu pula yang harus dia katakan.

Orang mukmin ialah orang yang paling baik amalannya dan paling takut kepada Allah SWT dan sekalipun ia menafkahkan hartanya setinggi gunung ia seakan-akan tidak dapat melihatnya (tidak menceritakannya).

Para sufi menurut pengertiannya adalah orang yang hatinya selalu bertaqwa kepada Allah SWT dan memiliki ciri al: berbicara benar, menepati janji, mengadakan silaturahmi, menyayangi yang lemah, tidak memuji diri dan mengerjakan yang baik-baik. Fakih, menurutnya orang yang zahid terhadap dunia dan senang terhadap akhirat, melihat dan memahami agamanya, senantiasa beribadah kepada tuhannya, bersikap warak, menjaga kehormatan kaum muslimin dan harta benda mereka dan menjadi penasihat dan pembimbing bagi masyarakatnya.

Al Hasan al-Basri dan para ulama lain seperti Sulaiman bin Umar. Merupakan ulama besar yang dimintai kerjasamanya oleh Umar bin Abdul Azis (Madinah, 63 H/682M – 101H/720M) Khalifah dinasti Umayyah, yang pertama, yang meminta nasihat dan Fatwa mereka tentang berbagai kebijaksanaan, mengajarkan rakyat mengenai hukum syariat, setia mengikuti perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya.
Dan pada masa Umar bin Abdul Azis umat islam mengalami kesejahteraan dan masalah Khilafiah antara Syiah dan Suni dapat diluruskan..

Sebenarnya banyak tokoh-tokoh lain yang baik untuk diteladani seperti Malik Bin Dinar (w.171 H) murid dari al Hasan al-Basri, Tokoh Tabiin di kufah antara lain Sufyan as-Sauri (97-161H) yang terkenal kealimannya dalam bidang hadis dan fikih, tokoh kufah lainya seperti: Rabi bin Khaisam, Sa’id bin Jubair, Tawus bin Kaisan al-Yamani, Sufyan bin Uyainah, Jabir bin Hayyan dan Abu Hasyim. Umumnya mereka mempunyai ketekunan yang istimewah dalam beribadah. Dalam hal ini satu riwayat dari imam al-Gazali dikatakan bahwa diantara mereka ada yang sanggup melakukan qiyām al-lail (Shalat malam) sepanjang malam.

Berikut nasihat, pendapat dan fatwa para imam dan ulama tentang sufi dan tasawuf:
Imam Abu Hanifa (81-150 H./700-767 CE)
Imam Abu Hanifa (r) (85 H.-150 H) berkata, “Jika tidak karena dua tahun, saya telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina

Ja’far as-Sadiq dan mendapatkan ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar”. Ad-Durr al-Mukhtar, vol 1. p. 43 bahwa Ibn ‘Abideen said, “Abi Ali Dakkak, seorang sufi, dari Abul

Qassim an-Nasarabadi, dari ash-Shibli, dari Sariyy as-Saqati dari Ma’ruf al-Karkhi, dari Dawad at-Ta’i, yang mendapatkan ilmu lahir dan batin dari Imam Abu Hanifa (r), yang mendukung jalan Sufi.” Imam berkata sebelum meninggal: lawla sanatan lahalaka Nu’man, “Jika tidak karena dua tahun, Nu’man (saya) telah celaka.” Itulah dua tahun bersama Ja’far as-Sadiq.

Imam Malik (94-179 H./716-795 CE)
Imam Malik (r): “man tassawaffa wa lam yatafaqah faqad tazandaqa wa man tafaqaha wa lam yatsawwaf faqad fasadat, wa man tafaqaha wa tassawafa faqad tahaqqaq. (Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasauf tanpa fikh maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fikh tanpa tasauf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasauf dan fikh dia meraih kebenaran).” (dalam buku ‘Ali al-Adawi dari keterangan Imam Abil-Hassan, ulama fikh, vol. 2, p. 195

Imam Shafi’i (150-205 H./767-820 CE)
Imam Shafi’i : ”Saya bersama orang sufi dan aku menerima 3 ilmu:
1. Mereka mengajariku bagaimana berbicara.
2. Mereka mengajariku bagaimana memperlakukan orang dengan kasih dan hati lembut.
3. Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawuf
[Kashf al-Khafa and Muzid al-Albas, Imam 'Ajluni, vol. 1, p. 341.]

Dalam Diwan (puisi) Imam Syafii, nomor 108 :
“Jadilah ahli fiqih dan sufi Jangan menjadi salah satunya Demi Allah Aku menasehatimu”.

Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H./780-855 CE)
Imam Ahmad (r) : “Ya walladee ‘alayka bi-jallassati ha’ula’i as-Sufiyya. Fa innahum zaadu ‘alayna bikathuratil ‘ilmi wal murqaba wal khashiyyata waz-zuhda wa ‘uluwal himmat (Anakku jika kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka tetap mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka orang-orang zuhud dan mereka memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi,” –Tanwir al-Qulub, p. 405, Shaikh Amin al-Kurdi)

Imam Ahmad (r) tentang Sufi:”Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka” ( Ghiza al-Albab, vol. 1, p. 120)

Imam al-Qushayri (d. 465 H./1072 CE)
Imam al-Qushayri tentang Tasawuf: “Allah membuat golongan ini yang terbaik dari wali-wali-Nya dan Dia mengangkat mereka di atas seluruh hamba-hamba-Nya sesudah para Rasul dan Nabi, dan Dia memberi hati mereka rahasia Kehadiran Ilahi-Nya dan Dia memilih mereka diantara umat-Nya yang menerima cahaya-Nya. Mereka adalah sarana kemanusiaan, Mereka menyucikan diri dari segala hubungan dengan dunia dan Dia mengangkat mereka ke kedudukan tertinggi dalam penampakan (kasyf). Dan Dia membuka kepada mereka Kenyataan akan Keesaan-Nya. Dia membuat mereka untuk melihat kehendak-Nya mengendalikan diri mereka. Dia membuat mereka bersinar dalam wujud-Nya dan menampakkan mereka sebagai cahaya dan cahaya-Nya .” [ar-Risalat al-Qushayriyya, p. 2]

Imam Ghazali (450-505 H./1058-1111 CE)
Imam Ghazali, hujjatul-Islam, tentang tasawuf : “Saya tahu dengan benar bahwa para Sufi adalah para pencari jalan Allah, dan bahwa mereka melakukan yang terbaik, dan jalan mereka adalah jalan terbaik, dan akhlak mereka paling suci. Mereka membersihkan hati mereka dari selain Allah dan mereka menjadikan mereka sebagai jalan bagi sungai untuk mengalirnya kehadiran Ilahi [al-Munqidh min ad-dalal, p. 131].
Imam Nawawi (620-676 H./1223-1278 CE)

Dalam suratnya al-Maqasid : “Ciri jalan sufi ada 5 : menjaga kehadiran Allah dalam hati pada waktu ramai dan sendiri mengikuti Sunah Rasul dengan perbuatan dan kata menghindari ketergantungan kepada orang lain bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit selalu merujuk masalah kepada Allah swt [Maqasid at-Tawhid, p. 20]

Imam Fakhr ad-Din ar-Razi (544-606 H./1149-1209 CE)
Imam Fakhr ad-Din ar-Razi : “Jalan para sufi adalah mencari ilmu untuk memutuskan diri mereka dari kehidupan dunia dan menjaga diri mereka agar selalu sibuk dalam pikiran dan hati mereka dengan mengingat Allah, pada seluruh tindakan dan perilaku” .” [Ictiqadat Furaq al-Musliman, p. 72, 73]

Ibn Khaldun (733-808 H./1332-1406 CE)
Ibn Khaldun : “Jalan sufi adalah jalan salaf, ulama-ulama di antara Sahabat, Tabi’een, and Tabi’ at-Tabi’een. Asalnya adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan perhiasan dan kesenangan dunia” [Muqaddimat ibn Khaldan, p. 328]

Tajuddin as-Subki
Mu’eed an-Na’eem, p. 190, dalam tasauf: “Semoga Allah memuji mereka dan memberi salam kepada mereka dan menjadikan kita bersama mereka di dalam sorga. Banyak hal yang telah dikatakan tentang mereka dan terlalu banyak orang-orang bodoh yang mengatakan hal-hal yang tidak berhubungan dengan mereka. Dan yang benar adalah bahwa mereka meninggalkan dunia dan menyibukkan diri dengan ibadah” Dia berkata: “Mereka adalah manusia-manusia yang dekat dengan Allah yang doa dan shalatnya diterima Allah, dan melalui mereka Allah membantu manusia.

Jalaluddin as-Suyuti
Dalam Ta’yad al-haqiqat al-’Aliyya, p. 57: “tasawuf dalam diri mereka adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Dia menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi dan meninggalkan bid’ah”

Ibn Taimiya (661-728 H./1263-1328 CE) (syeikhnya orang-orang Salafi/Wahabi)
Majmu Fatawa Ibn Taymiyya, Dar ar-Rahmat, Cairo, Vol, 11, page 497, Kitab Tasawwuf: “Kamu harus tahu bahwa syaikh-syaikh terbimbing harus diambil sebagai petunjuk dan contoh dalam agama, karena mereka mengikuti jejak Para Nabi dan Rasul. Tariqat para syaikh itu adalah untuk menyeru manusia ke Kehadiran Allah dan ketaatan kepada Nabi.”

Juga dalam hal 499: “Para syaikh dimana kita perlu mengambil sebagai pembimbing adalah teladan kita dan kita harus mengikuti mereka. Karena ketika kita dalam Haji, kita memerlukan petunjuk (dalal) untuk mencapai Ka’ bah, para syaikh ini adalah petunjuk kita (dalal) menuju Allah dan Nabi kita. Di antara para syaikh yang dia sebut adalah: Ibrahim ibn Adham, Macruf al-Karkhi, Hasan al-Basri, Rabia al-Adawiyya, Junaid ibn Muhammad, Shaikh Abdul Qadir Jailani, Shaikh Ahmad ar-Rafa’i, and Shaikh Bayazid al- Bistami.

Ibn Taymiyya mengutip Bayazid al-Bistami pada 510, Volume 10: “…Syaikh besar, Bayazid al-Bistami, dan kisah yang terkenal ketika dia menyaksikan Tuhan dalam kasyf dan dia berkata kepada Dia:” Ya Allah, bagaimana jalan menuju Engkau?”. Dan Allah menjawab: “Tinggalkan dirimu dan datanglah kepada-Ku”. Ibn Taymiah melanjutakan kutipan Bayazid al-Bistami, ” Saya keluar dari diriku seperti seekor ular keluar dari kulitnya”. Implisit dari kutipan ini adalah sebuah indikasi tentang perlunya zuhd (pengingkaran-diri atau pengingkaran terhadap kehidupan dunia), seperti jalan yang diikuti Bayazid al-Bistami.

Kita melihat dari kutipan di atas bahwa Ibn Taymiah menerima banyak Syaikh dengan mengutipnya dan meminta orang untuk mengikuti bimbingannya untuk menunjukkan cara menaati Allah dan Rasul Saw.

Apa kata Ibn Taymiah tentang istilah tasawuf
Berikut adalah pendapat Ibn Taimiah tentang definisi Tasauf dari strained, Whether you are gold or gold-plated copper.” Sanai. Following is what Ibn Taymiyya said about the definition of Tasawwuf, from Volume 11, At-Tasawwuf, of Majmu’a Fatawa Ibn Taymiyya al-Kubra, Dar ar-Rahmah, Cairo:

“Alhamdulillah, penggunaan kata tasauf telah didiskusikan secara mendalam. Ini adalah istilah yang diberikan kepada hal yang berhubungan dengan cabang ilmu (tazkiyat an-nafs and Ihsan).”

“Tasauf adalah ilmu tentang kenyataan dan keadaan dari pengalaman. Sufi adalah orang yang menyucikan dirinya dari segala sesuatu yang menjauhkan dari mengingat Allah dan orang yang mengisi dirinya dengan ilmu hati dan ilmu pikiran di mana harga emas dan batu adalah sama saja baginya.

Tasauf menjaga makna-makna yang tinggi dan meninggalkan mencari ketenaran dan egoisme untuk meraih keadaan yang penuh dengan Kebenaran.

Manusia terbaik sesudah Nabi adalah Shidiqin, sebagaimana disebutkan Allah: “Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiqqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. 4:69)” Dia melanjutkan mengenai Sufi,”mereka berusaha untuk menaati Allah.. Sehingga dari mereka kamu akan mendapati mereka merupakan yang terdepan (sabiqunas-sabiqun) karena usaha mereka. Dan sebagian dari merupakan golongan kanan (ashabus-syimal).”

Imam Ibn Qayyim (d. 751 H./1350 CE)
Imam Ibn Qayyim menyatakan bahwa, “Kita menyaksikan kebesaran orang-orang tasawuf dalam pandangan salaf bagaimana yang telah disebut oleh Sufyan ath-Tsawri (d. 161 H./777 CE). Salah satu imam terbesar abad kedua dan salah satu mujtahid terkemuka, dia berkata: “Jika tidak karena Abu Hisham as-Sufi (d. 115 H./733 CE) saya tidak pernah mengenal bentuk munafik yang kecil (riya’) dalam diri (Manazil as-Sa’ireen) Lanjut Ibn Qayyim:”Diantara orang terbaik adalah Sufi yang mempelajari fiqh” ‘

Abdullah ibn Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab (1115-1201 H./1703-1787 CE)
Dari Mu ammad Man ar Nu’mani’s book (p. 85), Ad- ia’at al-Mukaththafa Didd ash-Shaikh Mu ammad ibn c’Abdul Wahhab: “Shaikh ‘Abdullah, anak shaikh Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab, mengatakan mengenai Tasawwuf: ‘Anakku dan saya tidak pernah menolak atau mengkritik ilmu tasauf, tetapi sebaliknya kami mendukungnya karena ia menyucikan baik lahir maupun batin dari dosa tersembunyi yang berhubungan dengan hati dan bentuk batin. Meskipun seseorang mungkin secara lahir benar, secara batin mungkin salah; dan untuk memperbaikinya tasauf diperlukan.” Dalam volume 5 dari Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab entitled ar-Rasa’il ash-Shakhsiyya, hal 11, serta hal. 12, 61, and 64 dia menyatakan: “Saya tidak pernah menuduh kafir Ibn ‘Arabi atau Ibn al-Farid karena interpretasi sufinya”
Ibn ‘Abidin

Ulama besar, Ibn ‘Abidin dalam Rasa’il Ibn Abidin (p. 172-173) menyatakan: ” Para pencari jalan ini tidak mendengar kecuali Kehadiran Ilahi dan mereka tidak mencintai selain Dia. Jika mereka mengingat Dia mereka menangis. Jika mereka memikirkan Dia mereka bahagia. Jika mereka menemukan Dia mereka sadar. Jika mereka melihat Dia mereka akan tenang. Jika mereka berjalan dalan Kehadiran Ilahi, mereka menjadi lembut. Mereka mabuk dengan Rahmat-Nya. Semoga Allah merahmati mereka”. [Majallat al-Muslim, 6th ed., 1378 H, p. 24].

Shaikh Rashid Rida
Dia berkata,”tasawuf adalah salah satu pilar dari pilar-pilar agama. Tujuannya adalah untuk membersihkan diri dan mempertanggungjawabkan perilaku sehari-hari dan untuk menaikan manusia menuju maqam spiritual yang tinggi” [Majallat al-Manar, 1st year, p. 726].

Maulana Abul Hasan ‘Ali an-Nadwi
Maulana Abul Hasan ‘Ali an-Nadwi anggota the Islamic-Arabic Society of India and Muslim countries. Dalam, Muslims in India, , p. 140-146, “Para sufi ini memberi inisiasi (baiat) pada manusia ke dalam keesaan Allah dan keikhlasan dalam mengikuti Sunah Nabi dan dalam menyesali kesalahan dan dalam menghindari setiap ma’siat kepada Allah SWT. Petunjuk mereka merangsang orang-orang untuk berpindah ke jalan kecintaan penuh kepada Allah” “Di Calcutta, India, lebih dari 1000 orang mengambil inisiasi (baiat) ke dalam Tasauf” “Kita bersyukur atas pengaruh orang-orang sufi, ribuan dan ratusan ribu orang di India menemukan Tuham merka dan meraih kondisi kesempurnaan melalui Islam”

Abul ‘Ala Mawdudi
Dalam Mabadi’ al-Islam (p. 17), “Tasauf adalah kenyataan yang tandanya adalah cinta kepada Allah dan Rasul saw, di mana sesorang meniadakan diri mereka karena tujuan mereka (Cinta), dan seseorang meniadakan dari segala sesuatu selain cinta Allah dan Rasul” “Tasauf mencari ketulusan hati, menyucikan niat dan kebenaran untuk taat dalam seluruh perbuatannya.” Ringkasnya, tasauf, dahulu maupun sekarang, adalah sarana efektif untuk menyebarkan kebenaran Islam, memperluas ilmu dan pemahaman spiritual, dan meningkatkan kebahagian dan kedamaian. Dengan itu manusia dapat menemukan diri sendir dan, dengan demikian, menemukan Tuhannya. Dengan itu manusia dapat meningkatkan, merubah dan menaikan diri sendiri dan mendapatkan keselamatan dari kebodohan dunia dan dari godaan keindahan materi. Dan Allah yang lebih mengetahui niat hamba-hamba-Nya.


Janganlah Kalian saling menjatuhkan dengan saudaramu....

Imam Muslim meriwayatkan dari Tsauban, bahwa Rasululloh ShallAllohu’alaihi wa Sallam bersabda :

“إن الله زوى لي الأرض، فرأيت مشارقها ومغاربها، وإن أمتي سيبلغ ملكها ما زوي لي منها، وأعطيت كنـزين : الأحمر والأبيض، وإني سألت ربي لأمتي أن لا يهلكها بسنة بعامة، وأن لا يسلط عليهم عدوا من سوى أنفسهم فيستبيح بيضتهم، وإن ربي قال : يا محمد إني إذا قضيت قضاء فإنه لا يرد، وإني أعطيتك لأمتك أن لا أهلكهم بسنة بعامة، وأن لا أسلط عليهم عدوا من سوى أنفسهم فيستبيح بيضتهم، ولو اجتمع عليهم من بأقطارها، حتى يكون بعضهم يهلك بعضا، ويسبي بعضهم بعضا”.

“Sungguh Alloh telah membentangkan bumi kepadaku, sehingga aku dapat melihat belahan timur dan barat, dan sungguh kekuasaan umatku akan sampai pada belahan bumi yang telah dibentangkan kepadaku itu, dan aku diberi dua simpanan yang berharga, merah dan putih (imperium Persia dan Romawi), dan aku minta kepada Rabbku untuk umatku agar jangan dibinasakan dengan sebab kelaparan (paceklik) yang berkepanjangan, dan jangan dikuasakan kepada musuh selain dari kaum mereka sendiri, sehingga musuh itu nantinya akan merampas seluruh negeri mereka.

Lalu Rabb berfirman : “Hai Muhammad, jika aku telah
menetapkan suatu perkara, maka ketetapan itu tak akan bisa berubah, dan sesungguhnya Aku telah memberikan kepadamu untuk umatmu untuk tidak dibinasakan dengan sebab paceklik yang berkepanjangan, dan tidak akan dikuasai oleh musuh selain dari kaum mereka sendiri, maka musuh itu tidak akan bisa merampas seluruh negeri mereka, meskipun manusia yang ada di jagat raya ini berkumpul menghadapi mereka, sampai umatmu itu sendiri sebagian menghancurkan sebagian yang lain, dan sebagian meraka menawan sebagian yang lain.”


Jelaslah bagi sebagian orang yang menganggap bahwa Tasawuf, Sufi Menyimpang dll itu di karenakan kita sebagai umat islam terlalu berburuk sangka bahkan sering menjatuhkan di karenakan hanya sebatas menilai dan prasangka?...



Dan  bagaiman dengan kita yang derajat Keimanannya bukan setingkat Imam Hasan Bashri, Imam Ghazali, Syeikh Abdul Qadir jaelani, dan para salauful sholeh yang jelas Tingkat ke imannya sudah berani menjatuhkan Tuduhan yang tidak pada semestinya,?...

Sebagaimana Kita tahu bahwa kaum Sufi pada umumnya mengucapkan sesuatu di balik " Tersurat" ada yang "Tersirat "dan oleh karena itu seseorang beribadah hanya sebatas ikut-ikutan atau mungkin pengaruh lingkungan, tentu akan lain dalam menilai boboNya dibandingkan dengan amal seseorang yang ibadatnya kesadaran tinggi , yang menghayati sepenuhnya arti dan makna ibadah.

InshaAllah dengan Tafakur dan merenung terhadap Alam, diri, ucapan, Pernyataan dan hidup Kehidupan ini akan membawa kebaikan dan petunjuk Allah SWT...

"Firman Allah:
"Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapat seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.."
(Al-Kahfi : 17)

"Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi...."
(Al-A'raaf : 178)

Hamba yang Hina ...
Mengakui penuh dosa dan kekurangan,
Hamba yang selalu mengharapkan Maaf Tuhan
Yang Maha Kuasa,
Yang paling berhajat kepada Keridhaan Allah Yang Maha Perancang..


Semoga Allah SWT membimbing kita dan semua dengan Rahmat kebaikannya, selalu mencintai Allah dan selalu mengingatnya kitika sendirian..dan Sembahlah seakan-akan Melihatnya dan jika tidak melihatnya, Sesungguhnya melihatmu,  Dialah Maha melindungi  dan Pelindung orang-orang Shaleh.

Shalawat dan Salam Allah atas junjunganku Muhammad SAW, Keluarga dan Para Sahabatnya dan Segala Puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam.


Amiiin.


BarakAllahu feekum...
♥ wasalamu3leikum wa rahmatullahi wa barakatuhu ♥

By : Luciola Eberta Jovita (Ayu)






ShareThis