Bagaimana Menyikapi Tentang Hukum Suap?

04 June 2012



Assalamu'alaikum Wr, Wb.

Islam Mengharamkan Suap


Islam secara tegas mengharamkan suap atau sogok. Rasulullah saw bersabda: ”Allah melaknat penyuap (ar-raasyi) dan yang disuap (al-murtasyi).” Kedua belah pihak, penyuap dan penerima suap dilaknat Allah SWT. Oleh karena itu hukum suap haram.

Kaidah Fathu Dzaraai’

Dalam Usul fikih terdapat sebuah kaidah Usul fiqih yang disebut Fathu Dzarai’. Prinsip kaidah ini membolehkan yang haram apabila dipastikan atau diperkirakan dalam pembolehan tersebut mewujudkan manfaat yang lebih besar  atau mencegah mafsadah. Tentunya manfaat dan mafsadah disini menurut syariat Islam bukan menurut aturan yang lain.

Suap dibolehkan dalam kondisi tertentu.


Suap yang diharamkan dalam teks hadis diatas adalah suap yang mengandung unsur zhalim (merugikan orang lain). Seperti menzhalimi hak orang lain, mengambil sesuatu yang bukan haknya, menghalalkan yang haram atau sebaliknya, mempengaruhi keputusan yang merugikan pihak lain dan sebagainya.

Hukum suap akan berbeda apabila tidak mengandung unsur zhalim. Seperti mengambil sesuatu yang menjadi haknya, melakukan suap karena untuk mencegah bahaya yang lebih besar atau mewujudkan manfaat (yang sesuai dengan syariat) yang besar. Dalam keadaan seperti ini maka si pemberi suap tidak berdosa, hanya penerima suap yang mendapat dosa. Hal ini sesuai dengan kaidah fathu dzarai’.

Apabila seseorang sudah ikut proses penerimaan PNS dengan benar kemudian ia diterima. Namun nomor NIP tidak bisa keluar karena pihak berwenang meminta sejumlah uang. Dalam hal seperti ini maka dibolehkan bagi calon PNS tersebut untuk membayar sejumlah uang kepada pihak berwenang agar Ia bisa mempunya NIP. Ia tidak menzhalimi siapapun, suap tersebut hanya untuk mengambil hak dia. Ia tidak berdosa. Dosa hanya ditimpakan kepada pihak berwenang.

Hukum Gaji dari Pekerjaan yang diperoleh dari hasil suap

An-nahyu (larangan) dalam fiqih dibagi menjadi tiga jenis. Pertama: Larangan karena hal yang dilarang memang tidak baik, seperti mencuri, berzina dan lain sebagainya. Kedua larangan bukan karena hal yang dilarang tidak baik akan tetapi karena ada sesuatu yang tidak baik menyertai hal yang dilarang, dan hal tersebut tidak terpisahkan (mulaazim lahu). Seperti; larangan jual beli sesuatu yang tidak ada barangnya. Larangan ini bukan karena jual belinya tapi karena barang yang dijual tidak ada dihadapan penjual dan pembeli yang mana hal ini bisa menimbulkan penipuan. Ketiga: larangan Karena sesuatu yang menyertai hal yang dilarang tapi hal tersebut terpisah dari hal yang dilarang. seperti: mengkhitbahi seorang perempuan yang sudah dikhitbah oleh orang lain, kemudian menikahinya. Khitbah terpisah dari menikah.

Jenis pertama dan kedua apabila dilakukan maka tidak berdampak  apa-apa. Pencuri tidak memiliki barang curian, zina tidak merubah status pezina, jual beli barang yang tidak ada dihadapan penjual dan pembeli ( bai’-al-ma’duum) tidak sah, kepemilikan barang tidak pindah ke pembeli, juga kepemilikan uang tidak pindah ke pedagang.

Jenis ketiga berbeda dengan jenis pertama dan kedua. Jenis ketiga walaupun dilarang namun tetap berdampak hukum. Mengkhitbah  perempuan yang sudah dikhitbah orang lain haram, namun apabila dilanjutkan dengan nikah maka nikahnya tetap sah.

Mendapatkan pekerjaan dengan suap haram. Namun apakah gaji dari pekerjaan yang diperoleh dengan suap juga haram? Apabila masalah kita qiyaskan ke masalah mengkhitbah perempuan yang sudah di khitbah kemudian menikahinya. Maka kesimpulannya adalah. Menyuap untuk memperoleh pekerjaan haram (dengan catatan menzhalimi orang lain). Gaji yang diperoleh dari pekerjaan tersebut tetap sah dan tidak haram. Dengan syarat gaji tersebut diperoleh karena ia bekerja dengan baik dan melakukan tuntutan pekerjaanya. Apabila karyawan tadi tidak melakukan tuntutan kerja dan tidak bekerja dengan baik maka hukumnya berbeda. Gaji tersebut tetap haram.

Beniat Taubat Sebelum Melakukan Maksiat:

Ada tiga syarat agar diterima taubatnya. Pertama:  meninggalkan maksiat, Kedua: menyesal terhadap dosa yang dilakukan, Ketiga: bertekad untuk tidak mengulangi maksiat tersebut. Apabila seseorang berniat taubat sebelum melakukan maksiat maka sesungguhnya ia tidak ada niat untuk taubat, tidak mau meninggalkan maksiat, tidak menyesal dengan maksiat tersebut dan ada niat mengulanginya.

Disisi lain apakah ia menjamin bahwa ia masih hidup ketika maksiat itu selesai dilakukan? Tidaklah ia khawatir  tidak ada kesempatan untuk  bertaubat atau ia meninggal ketika melakukan maksiat. Juga, apakah ada jaminan bahwa Allah akan mengampuni dosanya seandainya ia melakukan maksiat tersebut. Bisa jadi Allah SWT marah karena ia mempermainkan hukum Allah SWT dan Allah SWT menutup hatinya kemudian ia menikmati hasil maksiat tersebut dan menjauhkannya dari taubat. Naudzubillah min dzalik.

Wallahu ‘Alam
_____________________

Source : Majalah SABILI Edisi 12/XIX

ShareThis