Kang…, bias nggak kita mengetahui, kedudukan kita saat ini di depan Allah?” Tanya Dulkamdi kepada Kang Saleh.
Kang Saleh hanya menghela nafas panjang. Ia pandangi sahabatnya itu lama sekali, sampai Dulkamdi kelihatan tidak enak, khawatir menyinggung Kang Saleh, atau jangan-jangan pertanyaan itu sudah masuk kedaerah rawan.
Dan, cess. Airmata Kang Saleh tumpah di pipinya.
Dulkamdi semakin merasakan tidak enak dibenaknya. Rasanya ingin segera pergi dari kedai itu. Tapi Pardi tiba-tiba dating, tanpa basa-basi meminta sisa kopi Dulkamdi yang tinggal seperempat cangkir.
“Dul. Kita sudah lama tidak bersenang-senang. Kalau sesekali kita menuruti hawa nafsu kita, apakah nggak boleh Dul, ya?”
Dulkamdi justru terdiam. Ia injak telapak kaki Pardi, memberi tanda, bahwa suasananya kurang pas bicara seperti itu. Dan Pardi jadi paham, ketika memandang Kang Saleh, yang matanya masih basah.
Dua sahabat itu jadi clingukan.
Tiba-tiba suara Kang Saleh terasa parau, usai Pardi bicara seperti itu.
“Jika anda mulai berorientasi serba duniawi, memburu duniawi, itu tandanya Allah sedang menghina anda. Jika anda berorientasi dalam ubudiah, itu tandanya Allah sedang menolong anda. Jika anda sedang sibuk dengan urusan sesame manusia, sampai lupa dengan Allah, itu tandanya Allah sedang berpaling dari diri Anda. Jika anda dijauhkan dari rintangan-rintangan menuju kepada Allah, sesungguhnya Allah sedang mendidik budi pekerti kehambaan anda. Jika anda bergairah dalam Munajad kepadaNya, itu tandanya Allah sedang mendekati Anda. Jika anda Ridha atas ketentuanNya, dan Ridha bersamaNya, itu tandanya Allah Ridha kepada diri anda… dan…” Suara Kang Saleh terhenti berganti dengan tangis yang menderu-deru.
“Mari … mari … Kita kita kirim surat Al-Fatihah kepada Syaikh Zaruq, pensyarah al-Hikam yang memunculkan mutiara hikmah tadi… al-Fatihah…” Kata Kang Saleh sambil sesenggukkan.
Lalu seisi kedai itu membaca surat al-Fatihah sambil sesenggukan pula.
Dulkamdi memandang bengong kepada Kang Saleh. Kepalanya seperti burung onta, manggut-manggut belaka. Ia benar-benar menghayati ungkapan Kang Saleh yang sangat filosaofis itu. Diam-diam ia baru paham, itulah jawaban Kang Saleh atas pertanyaan diatas, dimana posisi seorang hamba dihadapan Allah.
“Nah Di, kamu paham kan?”
“Maksudmu Dul?”
“Lha, kamu kalau mengajak kita untuk menuruti hawa nafsu, syahwat dan maksiat, itu pertanda posisi kita dihadapan Allah sedang terhina, atau Allah menghina kita, lalu kita ditakdirkan bermaksiat, mengumbar kesenangan nafsu….”
Pardi hanya bias menghela nafasnya….
(KH Luqman Hakim.)